Yakobus
1.1-4; Kis. 8.1
A.
Introduksi
Satu kali ada roh jahat datang kepada Tuhan untuk
protes; jika biasanya manusia yang datang untuk protes kepada Tuhan atas ulah
iblis dan roh-roh jahat, namun kali ini hal yang sebaliknya yang terjadi. Roh jahat
berkata “Tuhan saya mau protes sebab manusia itu ternyata lebih jahat dari saya,”
lalu Tuhan berkata “kenapa kamu bilang begitu?” lalu roh jahat itu berkata, “
coba saja Tuhan bayangkan, satu kali saya sedang mengamati manusia dalam sebuah
kendaraan umum; kemudian saat kendaraan itu sedang penuh; ada seseorang yang
kentut. Saat itu terjadi, maka semua penumpang dalam kendaraan tersebut saling
pandang satu yang lain termasuk orang yang kentut, karena ia takut ketaahuan.”
Setelah mereka saling pandang satu sama lain, kemudian mereka semua tertawa
terbahak-bahak, dan berkata “setan kali yang kentut.” Roh jahat kemudian
berkata lagi “coba Tuhan bayangkan, masa saya yang dituduh kentut?”
Kita mungkin tertawa mendengar
anekdot ini, namun anekdot ini menyiratkan satu aspek yang sering kali ada
dalam diri semua manusia; apakah itu? Kebiasaan dan pola untuk “menyalahkan”
saat kita sedang dalam persoalan.
B.
Manusia cenderung melakukan
‘Blame game” saat terjadi sebuah kesalahan/persoalan
Entah disadari ataupun tidak, saat kita berhadapan dengan masalah
atau persolan, kita cenderung untuk pertama-tama mencari “siapa yang salah”
dalam masalah tersebut dari pada fokus dalam mencari solusi untuk persoalan
yang kita hadapi.
Jika kita menghadapi persoalan dalam keluarga kita, misalnya saja
masalah keuangan, apakah yang biasanya kita lakukan? Kita biasanya tidak
langsung memikirkan bagaimana cara mengatasi kesulitan keuangan dalam keluarga
kita, namun yang kita cenderung lakukan adalah pertama-tama bepikir “siapa yang
salah sampai kita menjadi kekurangan uang seperti ini.” Suami mungkin berkata
“ini pasti gara-gara istri saya tukang belanja,” si istri barangkali berkata
“ini pasti karena suami saya diam-diam ngasih duit ke orang tuanya.”
Inilah naturalnya manusia saat kita dalam persoalan, kita tidak
pertama-tama mencari solusi dari persoalan tersebut, namun cenderung mencari “siapa
yang bisa disalahkan” untuk persoalan tersebut. Inilah yang disebut dengan istilah
“Blame Game.”
Saat kita mengalami masalah, siapa yang biasanya kita salahkan?
Sebagian orang ada yang memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain;
apapun masalahnya yang terjadi, orang tipe ini akan berkata “oh ini salahnya
kamu...” atau “oh ini salahnya dia,” dst; dalam setiap masalah, yang salah
adalah selalu orang lain, dan bukan dirinya. Tipe orang seperti ini, kita lihat
ada dalam diri Adam; saat ia ketahuan memakan buah pengetahuan yang baik dan
jahat, ia bukannya mengaku bahwa ia salah, namun ia malah menyalahkan orang
lain; ia salahkan Hawa.
Sebagian orang ada juga yang mempunyai kecenderungan untuk
menyalahkan diri sendiri saat kita berhadapan dengan masalah. Jika ada masalah
yang muncul misalnya saja di gereja, ia langsung berkata “saya yang salah.” Orang
seperti ini kelihatannya “rohani,” namun sebenarnya tidak, ia menderita
penyakit yang disebut “messianic syndrome.”
Sebagian orang lainnya sering menjadikan iblis sebagai tersangka
dari setiap masalah yang dia hadapi. Saya pernah melihat ada orang yang minta
seorang pendeta mengusir “roh malas” dalam diri anaknya. Ada juga yang percaya
bahwa ada yang namanya “roh ngutang.” Kelompom orang seperti ini percaya bahwa
masalah datang dari setan, makanya mereka percaya bahwa semua masalah harus
diselesaikan pertama-tama dengan pengusiran setan.
Sebagian orang lainnya menyalahkan Tuhan atas masalah yang dia
hadapi. Inilah tipe orang yang seperti Ayub; menganggap bahwa Tuhan bertanggung
jawab untuk sakit dan penderitaan yang dia alami. Teman-teman Ayub menuding
Ayub menderita karena dosa, namun Ayub menolak tuduhan tersebut sebab ia memang
menderita bukan karena dosa; namun disisi yang lain Ayub kemudian menuding
Tuhanlah yang ada dibalik penderitaannya.
Kira-kira anda dan saya termasuk jenis orang yang bagaimana saat
kita menghadapi masalah? Apakah tipe orang yang menyahkan orang lain atau
menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan setan atau menyalahkan Tuhan?
C.
Jemaat Kristen Yahudi di kota
Yerusalem mengalami masalah penganiayaan
Dalam Yakobus 1.1, Yakobus mengatakan bahwa suratnya
ditujukan kepada “dua belas suku diperatauan.” NIV menterjemahkan istilah ini
lebih baik yakni “To the twelve tribes scattered among the nation.” Siapakah
yang dimaksudkan dengan istilah 12 suku? Istilah 12 suku menunjuk kepada
orang-orang Kristen yang berlatar belakang suku Yahudi. Namun orang Kristen
Yahudi yang mana yang dibicarakan oleh Yakobus? Jika kita membandingkan dengan
Kis. Rasul 8.1 disana dicatat mengenai jemaat Yerusalem yang juga dikatakan
“scattered.”
Berdasarkan keterangan dari Kis. Rasul 8.1, kita dapat
menyimpulkan bahwa 12 suku yang tercerai berai (“scettered”) yang dimaksudkan
oleh Yakobus menunjuk pada jemaat Yahudi di kota Yerusalem. Orang-orang Kristen Yahudi di kota Yerusalem ini
adalah orang-orang Kristen perdana (jemaat yang pertama) yang lahir dari
pemberitaan injil para rasul pada saat hari Pentakosta. Kita mesti ingat dengan
kisah mengenai Petrus yang berkotbah di Yerusalem dan 3000 orang menjadi
percaya dan dibaptiskan; dari 3000 orang jemaat ini ada yang berasal dari
Yerusalem dan tinggal di Yerusalem; merekalah yang kemudian menjadi jemaat
pertama di kota Yerusalem. Kepada mereka inilah nasehat Yakobus “anggaplah sebagai
suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh kedalam berbagai pencobaan” ditujukan.
Mengapa nasehat tersebut perlu disampaikan kepada jemaat
Kristen Yahudi di Yerusalem? Masalahnya adalah karena mereka menghadapi
penderitaan. Penderitaan mereka muncul
karena ada seorang Kristen bernama Stefanus, yang merupakan diaken pertama dalam
jemaat mula-mula, yang terlalu berani berkotbah dan terlalu keras mengkritisi agama Yahudi. Karena kotbah
Stefanus ini menyentuh hal yang sensitive dari agama Yahudi, maka mereka
menjadi tersinggung, dan dari sinilah muncul masalah. Persoalannya adalah yang
kena masalah bukan hanya Stefanus, namun banyak orang Kristen lain, ternyata
juga harus mengalami penganiayaan yang berat sehingga mereka sampai harus
meninggalkan rumah dan pekerjaan mereka dan pindah ke kota lain.
Sekarang coba anda bayangkan, jika hari ini saya
berkotbah dengan berani di televise; dan kemudian ada pemimpin dari keyakinan
lain yang marah dan kemudian menghasut massa dan menggerakan pengikutnya untuk
merusak gereja-gereja yang ada; dan kebetulan salah satu gereja yang dirusak
adalah gereja anda; bukan hanya itu orang banyak bahkan kemudian merusak rumah
anda karena anda dianggap bagian dari gereja yang mereka benci sehingga rumah
anda dirusak dan harta anda dijarah. Kira-kira, jika anda mengalami hal yang
demikian, apa yang akan anda katakan? Anda pasti akan berkata “ini gara-gara si
Chandra Gunawan yang kotbahnya serampangan; coba dia lebih lembut ngomongnya
atau apalah..., kita kan tidak akan ngalami hal seperti ini.”
Hal yang sama pasti menjadi
pergumulan dari orang-orang Kristen di kota Yerusalem; mereka mungkin kecewa
dan marah, dan mulai menyalahkan Stefanus atas penderitaan yang mereka alami.
Mereka mungkin berkata “penderitaan ini adalah gara-gara si Stefanus; coba dia
kotbahnya lebih hati-hati, kita tidak akan mengalami penderitaan seperti
sekarang.”
D.
Respons dari Yakobus sebagai
pendeta/gembala jemaat dari gereja Yerusalem
Oleh karena Petrus dan Yohanes lebih banyak terlibat
dalam pelayanan pemberitaan injil; maka Yakobus, saudara Yesus, diserahi
tanggung jawab untuk menggembalakan jemaat di kota Yerusalem. Saat Yakobus
melihat jemaatnya mengalami penderitaan dan terusir dari kota Yerusalem, ia
pasti memahami bahwa jemaat mungkin mulai kecewa dan jatuh dalam “blame game,”
sibuk menyacari orang yang bisa disalahkan untuk masalah yang mereka hadapi.
Dalam konteks inilah Yakobus memberikan nasehat bahwa
MASALAH SESUNGGUHNYA BISA MENJADI BERKAT bagi orang percaya. Yakobus berkata
“anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam
berbagai-bagai pencobaan.” Pencobaan yang Yakobus bicarakan terkait dengan
masalah penderitaan yang dialami oleh jemaat Yerusalem yang timbul karena
kotbah Stefanus; namun Yakobus ingin jemaat tidak sibuk dengan “blame game”
atau mencari-cari siapa orang yang salah dalam penderitaan yang mereka alami,
namun mereka harus belajar untuk terutama melihat kepada Allah dan belajar
untuk percaya bahwa pencobaan (penderitaan) yang mereka alami akan membawa
mereka kepada kebahagiaan (kepada berkat Allah).
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Maka Yakobus mengajarkan
jemaatnya bahwa masalah yang diijinkan Tuhan terjadi dalam hidup kita akan
membawa kita kepada “ketekunan.” Terlepas dari siapa yang salah dalam persoalan
yang kita hadapi, namun masalah saat kita serahkan kepada tangan Tuhan, maka
itu bisa menjadi alat ditangan Tuhan untuk membentuk kita menjadi orang yang
tekun. Dan Yakobus berharap jemaat paham akan kebenaran ini, itulah sebabnya ia
berkata “sebab kamu tahu bahwa ujian
terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.” Karena mereka sudah tahu akan
kebenaran ini, maka berhentilah melakukan “blame game,” berhentilah menyalahkan
stefanus atau orang lain atas masalah yang kita hadapi.
Ingat bahwa “ketekunan” yang lahir dari sebuah proses
dimana kita belajar melewati masalah dan persoalan dengan cara yang benar, akan
menghasilkan yang namanya “kedewasaan.” Yakubus berkata “biarlah ketekunan itu
menperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan
sesuatu apapun.” Istilah ‘buah yang matang,” dan istilah “sempurna dan utuh dan
tak kekurangan sesuatu apapun” digunakan Yakobus untuk menggambarkan kedewasaan
iman orang percaya yang akan muncul sebagai buah dari ketekunan kita dalam
melewati dan menghadapi “persoalan.”
Jadi, “blame game” alias “suka cari
kambing hitam saat kita dalam masalah” bukanlah karakter seorang Kristen.
Masalah bisa datang dari mana saja; namun masalah yang diserahkan kepada tangan
Tuhan akan menjadi alat yang membentuk hidup kita.
E.
Aplikasi
Apakah hari ini anda dan saya datang dengan masalah? Mungkin
kita sedang memiliki masalah kesehatan fisik kita? Atau mungkin ada juga
diantara kita yang datang dengan masalah dalam keluarga kita; mungkin kita
sedang menghadapi masalah pekerjaan atau persoalan dengan keuangan keluarga
kita; atau mungkin kita sedang memiliki masalah dengan gereja; atau mungkin
masalah kita adalah dengan tetangga kita.
Ingat saat terjadi masalah, kita tidak perlu melakukan
“Blame Game,” kita sibuk dalam mencari “siapa yang salah” dalam persoalan kita;
kita tidak perlu menyalahkan orang lain ataupun diri kita sendiri saat kita
berhadapan dengan masalah. Ingat bahwa masalah bisa datang dari mana saja. Yang
paling penting adalah saat terjadi masalah, ingatlah bahwa dalam kehidupan
orang percaya (i) setiap masalah dan semua masalah yang kita hadapi, (ii) yang
kita serahkan kepada tangan Tuhan, (iii) itu bisa berusah menjadi sarana berkat
Allah.
Inilah yang terjadi dengan Yusuf. JIka kita membaca kisah Yusuf; kita
akan dibawa kepada kisah yang sangat memilukan. Siapa diantara kita yang pernah
mengalami persoalan yang begitu rumit lebih dari pada Yusuf. Walaupun ia
disayang oleh ayah dan ibunya, namun ia dibenci oleh saudara-saudaranya. Waktu
kecil, ia dijual sebagai budak; bayangkan seorang anak rumahan seperti Yusuf,
harus menghadapi dunia perbudakan yang sangat kejam dan mengerikan seorang
diri. Namun tangan Tuhan ternyata tidak pernah lepas dari kehidupan Yusuf;
sehingga pada akhirnya masalah malah menjadi berkat bagi Yusuf; masalah malah
membuat Yusuf menjadi matang dalam kehidupannya sehingga ia siap menjadi orang
yang memberkati bukan hanya keluarganya, namun bangsa lain.
Inilah yang akan terjadi dengan anda dan saya jika kita tidak
berfokus pada masalah, namun pada rencana dan rancangan Allah dalam hidup anda
dan saya. Yang dibutuhkan oleh orang percaya saat terjadi masalah adalah
“berserah.” Apakah artinya berserah? Berserah bukanlah berarti “menyerah.”
Seseorang yang berserah kepada Tuhan; ia dengan aktif menyerahkan hidupnya
kepada Tuhan. Apa alasan seseorang harus belajar berserah kepada Tuhan? Ada dua
alasan utama mengapa kita perlu belajar berserah kepada Tuhan.
Alasan pertama adalah
sebab ada kontrol Allah atas dunia ini dan atas kita. Itulah yang kita lihat
dalam kisah Yusuf bukan; dalam kisah hidup Musa; kisah hidup Yesus; kisah hidup
Paulus dan kisah hidup kita bahwa yang mengendalikan hidup kita bukan masalah,
bukan setan, bukan diri kita sendiri tetapi Tuhan. Sebesar apapun masalah kita
dan sesulit apapun masalah yang kita hadapi dalam gereja ataupun dalam hidup
kita; semuanya ada dalam kendali tangan Tuhan. Kepada siapa lagi kita dapat
mempercayakan hidup selain kepada Tuhan.
Alasanya yang kedua adalah
sebab ada pemeliharaan Allah dalam hidup kita. Tuhan bukan hanya mengendalikan
segala sesuatu, Ia juga berkarya dalam memeliharakan segala sesuatu. Ingatkah
kita dengan apa yang Tuhan Yesus ajarkan mengenai burung pipit? Mari kita
membaca bersama-sama apa yang Tuhan Yesus ajarkan mengenai burung pipit dalam
Lukas 12:6
“bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit, sesungguhpun
demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan Allah.”
Bukankah kalimat ini begitu indah, berapakah harga burung pipit?
(untuk konteks zaman sekarang kita mungkin dapat berkata) Lima ekor untuk 1
euro; namun kata Tuhan Yesus, binatang yang dalam ukuran manusia tidak berharga
itu, tidak ada satupun yang dilupakan Allah, apalagi kita manusia yang dicipta
Tuhan menut gambar dan rupa-Nya sendiri bahkan kita yang menjadi anak-anak
Allah; bagaimana Tuhan akan melupakah kita? Jawabannya adalah tidak mungkin.
Jadi jika Tuhan ijinkan gereja kita mempunyai masalah; jika Tuhan
injinkan hidup kita harus menghadapi masalah; itu bukan karena Tuhan lupa
dengan kita, namun karena Tuhan punya rencana atas hidup kita; Dia ingin kita
menjadi dewasa melalui proses belajar dari masalah dalam kehidupan. Mari kita
membaca bersama-sama Yakobus 1.3-4 sekali lagi namun dalam bahasa yang berbeda.
“saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kita jatuh ke dalam berbagai masalah dalam
kehidupan sebab kita tahu bahwa masalah dalam kehidupan itu menghasilkan
ketekunan. Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kita menjadi sempurna dan utuh dan tak
kekurangan sesuatu apapun.”
Inilah yang membuat kita harus percaya kepada Tuhan sebab ada
pemeliharaan Tuhan atas hidup kita; Tuhan tidak pernah melupakan kita bahkan
saat kita melupakan Tuhan. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar