"Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya diatas Mezbah? Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah." Yakobus 2:21-23
Jika kita membaca selintas ayat-ayat diatas, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa Yakobus mengajarkan bahwa kita dibenarkan berdasarkan perbuatan-perbuatan kita. Kita harus berhati-hati untuk membaca teks di atas. Untuk memahami maksud Yakobus, kita harus memperhatikan kutipan teks dari PL mengenai Abraham yang Yakobus gunakan. Yakobus menegaskan ulang bahwa Abraham percaya kepada apa yang Allah perintahkan dan mentaatinya maka Allah memperhitungkan iman dan ketaatan Abraham sebagai kebenaran. Jadi, apa yang Yakobus ingin tekankan sebenarnya adalah mengenai kesatuan/integrasi antara iman dan ketaatan yang harus ada dalam kehidupan seorang percaya.
Berdasarkan kisah Abraham kita dapat melihat bahwa iman yang sejati melibatkan dua aspek yakni (i) percaya dengan apa yang Tuhan katakan dan (ii) mentaati apa yang Tuhan katakan. Kedua hal inilah yang ada dalam diri Abraham; sewaktu Abraham mendapatkan janji dari Tuhan, ia percaya kepada apa yang Tuhan katakan, dan ia mentaati Tuhan saat diminta meninggalkan sanak famili dan kediaman keluarga besarnya. Demikian juga saat Abraham dijanjikan akan memiliki keturunan seperti bintang dilangit, namun Tuhan kemudian meminta Abraham untuk mempersembahkan satu-satunya anak yang saat itu ia miliki, Abraham tetap percaya kepada Tuhan dan mentaati perintah Tuhan.
Ketaatan kepada perintah Tuhan, itulah ciri dari iman yang sejati. Persoalannya adalah pada saat kita hendak mentaati apa yang Tuhan perintahkan terkadang hal tersebut menjadi tidak mudah sebab tuntutan Tuhan seringkali berlawanan dengan apa yang menjadi keinginan lahiriah dan kenyamanan hidup kita. Apakah mudah untuk mengampuni dan mengasihi orang yang menyakiti kita sebagaimana yang Tuhan perintahkan? Tidak mudah bukan, sebab kita cenderung untuk menjadi orang yang akan merasa puas jika kita dapat membalas orang-orang yang menyakiti kita. Itulah sebabnya untuk dapat mentaati perintah Tuhan dibutuhkan yang namanya "penyangkalan diri." Tanpa kekuatan dari Tuhan, kita memang tidak mungkin dapat melakukan "penyangkalan diri," namun dalam Kristus kita sesungguhnya sudah diberikan apa yang kita butuhkan untuk baik "menyangkali diri" maupun untuk "mentaati perintah-perintah Tuhan."
Seorang bapak Kristen bekerja sebagai seorang tentara; walaupun ia sudah bekerja dengan rajin dan tekun, namun karirnya bergerak sangat lambat. Salah satu penyebabnya adalah karena ia tidak bersedia untuk membayar lebih supaya ia mendapatkan kenaikan jabatan ataupun penempatan di lokasi yang lebih menjanjikan. Satu kali bapak ini ditawari untuk pindah ke lokasi yang dia inginkan yakni tempat dimana anak-anaknya tinggal dan bersekolah; bapak ini memang sudah lama mengajukan dan mengharapkan penempatan di lokasi tersebut, persoalannya adalah ada sejumlah biaya yang diminta supaya ia dapat ditempatkan di sana. Hal ini membuatnya sangat bergumul dan setelah berbicara dengan istrinya, ia akhirnya menolak tawaran tersebut sebab ia tahu hal tersebut salah.
Syukur kepada Tuhan sebab ia telah memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan untuk mampu menyangkali diri dan mentaati perintah Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar